HUKUM KOPI LUAK DAN MAKANAN LAINNYA
Hukum konsumsi kopi luwak
Kopi luwak merupakan biji kopi yang kerap menjadi konsumsi luwak. Luwak adalah hewan sejenis musang yang memiliki kegemaran memakan ayam, kopi, dan juga makanan lainnya. Biji kopi yang menjadi kotoran luwak inilah yang disebut kopi luwak.
Sebelum kita menjawab hukum mengkonsumsikan kopi luwak ini, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa biji-bijian yang ditelan hewan kemudian dikeluarkan baik dengan cara dimuntahkan ataupun dikeluarkan melalui anus bersama kotorannya,hukum najis
1 bersihkan biji najis tersebut dengan air suci dan mensucikan atau air mutlaq
Dalam Fathul Mu`in karya Zainuddin al-Malibari disebutkan :
ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا فنجس
“Seandainya seekor binatang mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.”[3]
Dalam Nihayatuz Zain karya al-Nawawi al-Bantani disebutkan :
نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا
“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis[4]
لِاَنَّهُ وَاِنْ صَارَ غِذَاءًا لَهَا فَمَا تَغَيَّرَ إِلَى الْفَسَادِ فَصَارَ كَمَا لَوِ ابْتَلَعَ نَوَاةً وَخَرَجَتْ فَاِنَّ بَاطِنِهَا طَاهِرٌ وَيَطْهُرُ قَشْرُهَا بِالْغَسْلِ وَاِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ قَدْ زَالَتْ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ لَمْ يَنْبُتْ فَهُوَ نَجِسٌ
Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah
makanan binatang namun tidak menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji tersebut telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz II, halaman 591
والله اعلم
والله اعلم
Komentar